Kamis, 12 Juni 2014

kontadiksi putusan-putusan terhadap kejahatan narkotika



Kasus penyalagunaan narkotika bukanlah hal yang baru dalam negri kita. Kasus seperti ini bukan lah kasus remeh bagi kta karna dapat merusak masadepan bangsa. Permasalahan ini semakin menambah PR bagi kita semua yang hingga saat ini masih sulit diselesaikan. Namun dibalik semua itu ada beberapa kontadiksi atas putusan hukum terhadap kejahatan narkoba yang semkin membuat sulit masalah ini untuk di selesaikan. Berikut ini contoh berita dari kasus tersebut:
            ....
Hengky merupakan pemilik pabrik narkotika dan terpidana vonis 15 tahun penjara di PN Surabaya, di pengadilan Tinggi (PT) Surabaya vonis hengky ditambah menjadi 18 tahun dan ditingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) kembali diperberat dengan hukuman maksimal menjadi hukuman mati. Hukuman mati dijatuhkan oleh majelis hakim yang terdiri dari Iskandar Kamil, Komariah Emong Sapardjaja dan Kaimuddin Selle. Tetapi hukuman mati ini kemudian dianulir majelis hakim PK dengan mengubah vonis kembali menjadi 15 tahun penjara. Putusan Majelis Hakim PK setebal 61 halaman yang terdiri dari hakim Brigjen TNI (Pur) Imron Anwari selaku ketua majelis dengan Achmad Yamanie dan Hakim Nyak Pha selaku anggota dengan perkara No.: 39 K/Pid.Sus/2011 dapat dilihat di web site MA.
Kasus narkoba ini menjadi perhatian publik setelah beberapa terpidana mati seperti trio gembong narkoba sindikat internasional; Deni Setia Maharwa, Rani Andriyani dan Meirika Franola lolos dari vonis hukuman mati berkat grasi Presiden SBY atas dasar pertimbangan dan masukan MA sebagaimana diatur dalam pasal 14 UUDN RI 1945.
Jika diamati putusan majelis PK, memang beberapa pertimbangan hukumnya terlihat ganjal, diantaranya; Pertama, alasan Hukuman Mati melanggar konstitusi. Akomodasi Hak Asasi Manusia (HAM) di era reformasi memang sudah responsif, hal ini dapat dilihat pada perubahan amandemen kedua UUDN RI 1945 memasukkan 10 pasal yang terkait dengan HAM sebagaimana terdapat dalam BAB XA dari Pasal 28A sampai 28J, juga Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan pelbagai instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi.
Majelis PK mendalilkan bahwa hukuman mati bertentangan dengan pasal 28I ayat 1 UUDN RI 1945 yang menyatakan bahwa, “hak untuk hidup (the right to life), bersama dengan sejumlah kecil hak asasi lainnya (limitatif), adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights)” dan melanggar pasal 4 UU No. 39/1999 tentang HAM, yang berbunyi; “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaan apapun dan oleh siapapun”.
Oleh terpidana mati kasus narkoba; Edit Yunita Sianturi (WNI), Rani Andriyani alias Melisa Aprilia (WNI), Myuran Sukumaran (Australia), Andrew Chan (Australia) dan Scott Anthony Rush (Australia) telah mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) perihal Hukuman Mati dalam UU Narkotika dan Psikotropika (UU No. 22/1997) yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Dalam persidangan MK tersebut, pelbagai pendapat dari para pakar dan ahli, dalam dan luar negeri telah menyampaikan pikiran dan gagasannya masing-masing.
. Lebih jauh, hakim Imron Anwari (ketua majelis) pernah memberikan hukuman berupa vonis mati terhadap terpidana Kol. TNI M. Irfan Djumroni dalam kasus pembunuhan hakim Pengadilan Agama. Disinilah bangunan logika hukumnya mengalami distorsi dan kontradiksi.
....

Terkadang memang dunia hukum di negarakita memang sulit dimengerti. Dalam perundang-undangan mungkin terdapat sanksi hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba,namun sayanag hal tersebut agaknya masih sulit di realisasikan karna perdebatan yang sulit di pecahkan atas penetapan hukuman mati di indonesia yang katanya menentang pengan hak asasi manusia. Mungkin karna dunia  hukum di Indonesia sendiri diwarnai oleh suap menyuap dari para penegaknya sendiri ataupun belum ada putusan yang tegas bagi para pelaku.
Menurut saya perlindungan bagi kasus kejahatan yang besar seperti ini sebaiknya tidak perlu di berikan, karna banyak pengguna narkotika yang harus kehilangan nyawa karna benda haram tersebut dan rusak morilnya. Tidak hanya itu, kejujuran dalam dunia hukum di Indonesia harus lebih di tingkatkan demi terciptanya keadalian dan rasa aman bagi masyarakat. Penguasa hukum seharusnya bertindak lebih bijak dala menyikapi setiap masalah dengan jujur dan transparan. Jika kasus seperi ini sering kali terjadi maka itu bisa menjadi pertanda buruk bagi masa depan bangsa. Bukanya akan memberi efek jera malah mungkin akan dapat lebih mempermudah kasus seperti ini menjamur di negara kita.
Penggunaan wewenang yang bertanggung jawab sangat lah di butuhkan dalam hal ini, kita sebagai masyarakat pun harus teliti dalam mengawasi sistem kinerja para penegak hukum dan memberikan dukungan yang positif agar keadilan, keamanan dan kenyamanan yang kita dambakan dapat terwujud.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar